EKSISTENSI DAN PENCITRAAN PEREMPUAN DALAM KARYA SASTRA: STUDI KASUS PADA PEREMPUAN MINANG DAN JAWA DARI SEGI FEMINISME DAN NIHILISME



 UJIAN TENGAH SEMESTER GENAP
BAHASA DAN SASTRA NUSANTARA
 EKSISTENSI DAN PENCITRAAN PEREMPUAN DALAM KARYA SASTRA: STUDI KASUS PADA PEREMPUAN MINANG DAN JAWA DARI SEGI FEMINISME DAN NIHILISME

Oleh
Arif Rahman Hakim
1410741005




JURUSAN SASTRA DAERAH MINANGKABAU
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2016
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karya sastra merupakan suatu cara yang digunakan oleh seorang penulis dan sastrawan untuk membuka keheningan dan dampak besar di kalangan masyarakat. Dengan karya sastra pulalah seseorang akan membuka cakrawala baru mengenai hidup dan kehidupan yang sebelumnya tidak terpikirkan dengan baik. Untuk itulah, lahirnya sebuah karya sastra akan menjadi titik terang yang luar biasa pada suatu rumpun di masyarakat. Membahas karya sastra, tidak akan mudah terlepas dari tokoh-tokoh yang menjadi penganut di dalamnya. Dengan tokoh inilah membuat karya sastra akan mudah dikenang dan hidup nyata di masyarakat. Hal inilah yang menjadikan perempuan sebagai tolak ukur yang sangat baik itu.
Layaknya laki-laki sebagai tokoh sentral dalam sebuah karya sastra. Perempuan turut mengambil peranan penting pada setiap dentuman kata dan kalimat di sebuah karya sastra. Adanya perempuan di dalamnya, akan membuat karya sastra tampak lebih bercahaya dan berwarna. Semburat inilah yang membuat suatu hal krusial akan menjadi topik yang sangat hangat untuk dijejali, sehingga menjadi isu dalam kancah kesusastraan. Bukan hanya itu, kehadiran perempuan pada hampir karya sastra di negeri ini turut menjadi tanda tanya besar bagi kalangan pembaca, penikmat sastra dan serta sastrawan.
Perempuan yang dianggap menjadi simbol kecantikan dan keeksotisan di dunia ini membuat karya sastra menjadi hidup dan mudah berkembang. Bukan hanya sekadar simbol, kedudukan perempuan juga mampu mencerminkan watak dan kelakuan yang terkotak-kotak secara marjinal di benak pembaca, penikmat, dan kaum elit sastrawan. Lahirnya perempuan dalam sebuah karya sastra inilah membuka peluang baru untuk seorang akademisi agar mampu membuka celah-celah yang sedang tersembunyi elok. Dengan adanya perempuan, sebuah karya sastra akan menjadi titik temu yang sangat apik untuk mengetahui sosial budaya, ekonomi, dan derajat perempuan pada suatu kaum di Minangkabau dan Jawa.
1.2  Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas yang membahas mengenai perempuan-perempuan yang menjadi peran penting di sebuah karya sastra, maka permasalahan dirumuskan sebagai berikut:
1.      Bagaimana aspek sosial dan budaya yang tergambarkan pada perempuan Minang dan Jawa?
2.      Apa peran penting adanya perempuan Minang dan Jawa di dalam karya sastra?
3.      Kenapa perempuan menjadi tolak ukur keeksitensisan yang sangat apik di sebuah karya sastra?

1.3  Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan dari pembahasan ini sebagai berikut:
1.      Supaya tampak sosial budaya yang tergambarkan pada perempuan Minang dan Jawa
2.      Agar peran dan kedudukan perempuan itu bisa tergali lewat karya sastra
3.      Supaya tergambarkan tolak ukur perempuan di dalam karya sastra itu sendiri.

1.4  Manfaat
Adapun manfaat dari adanya makalah ini adalah:
1.      Untuk menambah revensi mengenai feminisme dan nihilisme yang memang menonjol pada tiap-tiap karya sastra yang lahir
2.      Untuk memperluar pemahaman mengenai perempuan Jawa dan Minang melalui karya sastra
3.      Untuk menyebarluaskan pandangan masyarakat pembaca, penikmat sastra dan sebagainya mengenai keeksistensisan perempuan Jawa dan Minang itu sendiri


BAB 2
PEMBAHASAN
Membahas aspek sosial dan budaya yang hidup pada perempuan Jawa dan Minang dalam karya sastra dapat kita ambil dari beberapa contoh karya yang telah menjadi acuan, misalnya karya Ahmad Tohari yang berjudul “Ronggeng Dukuh Paruk” yang membuat ternganga masyarakat pembaca dalam karyanya. Dalam karya sastra ini, perempuan Jawa sangat membawa perubahan yang signifikan dalam aspek sosial dan budaya yang berkembang. Maksudnya di sini, perempuan Jawa sangat mencirikan bahwa jati dirinya memang perempuan  Jawa seutuhnya. Dengan sikap dan tingkah lakunya dalam karya dapat tergambar jelas. Seorang perempuan memang dianggap sebagai “Dewi” kesenangan dunia. Entah, inilah sosial dan budaya di masyarakat Jawa.
Selanjutnya, sosial yang memang mengekang jiwa perempuan di Jawa membuat perempuan tetap menurut dengan apa yang telah diperintahkan kepadanya. Perempuan dianggap sebagai “Dewi” pemuas yang laki-laki inginkan. Di kehidupan sosial, perempuan Jawa berperan sebagai titik kecantikan. Bagi pengarang yang juga tergolong orang Jawa akan mengetahui sudut-sudut mana perempuan bisa ia perankan. Dengan begitu, perempuan Jawa dari sisi mana pun akan terbuka celah-celah keintimannya.
Perempuan Jawa yang tercirikan di dalam karya sastra akan mempengaruhi dampak sosial yang luar biasa bagi masyarakat pembaca. Masyarakat akan mendapat pengaruh terhadap perempuan Jawa dari karakter yang dimainkan oleh tokoh “Srintil” yang berusia belia telah bisa memaikan perannya sebagai perempuan dewasa. Dengan begitu, sisi keintiman anak-anak akan menonjol dari sikap sosial yang berkembang di masyarakat sana.
Bukan hanya itu pula, pencitraan perempuan sebagai pola kecantikan di masyarakat Jawa khusus di kawasan Dukuh Paruk membuat perempuan-perempuan di sana turut mendapat citra yang sama. Begini,  Srintil yang utama membuka celah mengenai perempuan yang sah-sah saja untuk dirangkul oleh laki-laki mana pun, asalkan ada uang. Dari segi ini, kita juga dapat menarik bahwa perempuan di sana juga bersifat matrealistis. Kematrean yang ditampaknya bukan hanya sekadar matre, tetapi juga mempunyai tujuan yang pasti bagi perempuan. Salah satunya, dengan uang tadi perempuan bisa membeli peralatan untuk menghias diri yang diperlukan untuk menari dalam karya ini. Dengan begitu, kita menarik kesimpulan bahwa sosial yang seperti ini membuat perempuan turut berpikir berkepanjangan untuk kelangsungannya.
Dalam segi nihilisme, perempuan di sini dianggap pemilik luka yang luar biasa. Perempuan menjadi permainan bagi kaum laki-laki yang dianggap pemuas semata, jika habis semuanya maka dibuang. Dari teman Srintiil saja, ia berani menggagahi Srintil dengan upaya mencium dan Srintil mau saja menuruni kemauannya. Dengan inilah, nihilis yang tampak sangat beragam, dari hal menidurkan Srintil dengan upaya buka klambu yang menghilangkan keperawanan Srintil dianggap lumrah bagi penduduk sana. Tetapi sebenarnya merusak jiwa dan ragab perempuan itu.
            Aspek budaya yang sangat jelas tercipta dari karya Ajeng Maharani yang berjudul “Animus” ini membuat perempuan Jawa sebagai tokoh yang patut dihina dan dipermainkan sebagai boneka bagi kaum laki-laki. Di sini pengarang menggambarkan bahwa perempuan dari sudut pandang mana pun tetap menjadi pemuncak masalah. Dengan adanya perempuan, suatu konflik itu akan mudah tercipta. Dengan begitu, kehadiran perempuan di dalam novel ini sangat dibutuhkan sekali dalam tiap-tiap ceritanya, karena perempuanlah yang luar biasa perannya.
Bukan sekadar itu, dengan sosial perempuan dari beberapa tokoh perempuan di dalam karya sastra ini, perempuan berasal dari sosial masyarakat yang paling rendah. Jika dirunut pada kasta-kasta yang ada di masyarakat Jawa sendiri, perempuan terletak di golongan kasta yang paling rendah dan dianggap remeh, tidak seperti Dewi. Tidak lebih dari pemuas nafsu laki-laki saja. Jika telah habis manisnya, perempuan dibuang begitu saja layaknya sampah.
 Sehingga boleh saja dibuat apapun sesuai kehendak yang diinginkan oleh laki-laki. Kehadiran perempuan di novel ini pun membuat konflik yang luar biasa terhadap sosial budaya yang ada, seperti perempuan sah-sah saja diperlakukan sebgaai manusia yang dilempar sembarang saja, perempuan harus menerima apapun konsekuensi yang dibuat oleh laki-laki dan menerima dengan jalan yang buruk. Akan tetapi, dengan menambah konflik pada sosialnya, perempuan Jawa di novel ini berupaya agar penamaan keluarganya yang terdiri dari orang tua perempuan dapat tidak masuk dalam konfliknya. Contohnya, tokoh Salsa sebagai tokoh perempuan Jawa di novel “Animus” berupaya agar ibunya tidak terjerumus pada konfliknya. Dan sama halnya dengan tokoh Nora di novel ini, ia juga berupaya agar keluarganya tidak seburuk dengan apa yang telah ia perbuat, sebab ia mau saja memperturuti kemauan pacarnya. Ini pun juga dirasakan oleh tokoh perempuan yang berperan sebagai istri sebagai ajudan tinggi di sebuah pulau yang diceritakan di dalam novel, perempuan tidak bisa leluasa mengembangkan kemampuan yang ia miliki. Bagaimanapun kegiatan yang ia lakukan haruslah sesuai perintah yang suami suruh. Salah satunya, Sang perempuan tidak diperbolehkan untuk membuka pintu kamar supaya anaknya tidak lari dari rumah. Bukan sekadar itu, Sang perempuan menikah dengan suaminya dengan suruhan dan perintah dari orang tuanya, seakan di sini menggambarkan bahwa apa yang diinginkan oleh laki-laki harus ia turuti walau badannya sebagai taruhannya. Di sini, saya tidak memaparkan bahwa perempuan Jawa lemah dari segi sosial, tetapi sosial budayanyalah seperti itu membuat perempuan Jawa di dalam karya sastra harus menjalankan kehidupan seperti itu kiranya.
Keeksistensisan perempuan Jawa bukan hanya pada karya sastra yang berbentuk novel atau  cerpen saja, akan tetapi juga tergambarkan pada bait-bait puisi yang mencerminkan bahwa perempuan Jawa ialah perempuan yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan perempuan lainnya. Perempuan Jawa berupaya agar dirinya lewat karya bisa terekspos dengan baik, bisa menandingi keperpihakan laki-laki yang membuatnya hidup di dalam karya.
Lewat sastra pulalah, perempuan Jawa memiliki tujuan dan visi yang jelas agar kesetaraan gendernya sama dengan laki-laki. Karena bukan hanya perempuan yang menulis karya sastra yang berbaur perempuan, akan tetapi turut laki-laki yang memainkannya. Perempuan Jawa yang tergambarkan penuh salah pada cerpen Ajeng Maharani pada basabasi.com memaparkan atas kematian suaminya karena ketidaksesuaian atas pemahaman yang mereka miliki, di sini jelas bahwa perempuan menginginkan dirinya untuk maju selangkah dari laki-laki, terutama suaminya. Dengan bekerja sebagai pembantu, Sang istri mulai membuat kesibukan dan dengan haluslah perempuan menyatakan bahwa dirinya juga mampu bekerja layaknya laki-laki bekerja.
Di lain sisi, perempuan Minang dalam lingkungan sosial budaya bertolak belakang dari perempuan Jawa. Perempuan Minang tidak ingin jika jiwanya mudah saja direndahkan oleh pihak laki-laki. Apalagi Minang yang mengganggap perempuan sebagai falsafah yang kuat membuatnya menjadi kuat di dalam karya sastra. Beberapa karya sastra yang berkembang di Minangkabau juga menggugah kehadiran perempuan. Bahkan banyak kedudukan perempuan dipertanyakan. Karena ada karya sastra yang mengedukasikan perempuan dalam kehidupan.
Minangkabau sendiri, karya sastra bukan hanya sekadar  bacaan semata, tetapi turut menambah khazanah sosial budaya yang melekat di masyarakatnya. Di Jawa, perempuan telah dipaparkan di bagian atas dan perempuan Minang dalam karya sastra akan turut dibedah atas sosial dan budaya yang telah membuatnya hidup di karya sastra.
Salah satu karya sastra yang ada di Minangkabau seperti “Kaba” banyak tokoh-tokoh perempuan menjadi judul ceritanya, di sini kita dapat menarik kesimpulan bahwa perempuan di Minangkabau memang diperhitungkan. Sebab, dengan perempuanlah kehidupan akan berjalan dengan baik. Dengan perempuanlah, sebuah karya sastra turut hidup dan menjadi suatu hal yang menarik bagi masyarakat Pembaca.
Di dalam “Kaba Sabai Nan Aluih” yang telah saya baca, perempuan sempat menjadi pejuang yang tangkuh melawan musuhnya. Ia tidak takut walau kelas sosial atau budaya yang tidak sama, apalagi Minangkabau menganut sistem homogen. Dengan begitu, perempuan merasa bahwa dirinya juga dibutuhkan dalam melawan kehancuran keluarga dan membela harga diri serta martabat keluarganya. Di dalam “Kaba” juga perempuan menjadi kuat karena adanya dirinya dalam unsur di rumah gadang, makanya ia akan berpikir seperti itu.
Dalam kaba ini, perempuan yang bernama Sabai Nan Aluih sebelumnya tidak pernah ke luar rumah karena hak anak perempuan hanya terdapat di dalam rumah saja. Karena pituah seperti itulah, Sabai Nan Aluih merasa geram, bahwa perempuan juga memiliki hak yang sama dengan laki-laki terutama pada adik laki-lakinya yang diberikan hak sebebas-bebasnya untuk bermain di luar rumah.
Hal inilah, Sabai Nan Aluih pada peristiwa yang genting menyangkut harkat marbatat keluarganya, ayah dari Sabai mati terbunuh oleh seorang pemuncak yang menginginkan Sabai menjadi istrinya, akan tetapi Sabai menolaknya yang menjadi perempuan pemberontak. Pada saat itulah, peran adik sebagai satu-satunya laki-laki di rumah gadang tidak terpakai karena Sabai telah dulu melangkauinya dulu.
Lain dalam Kaba Sabai Nan Aluih perempuan sebagai pahlawan. Kaba Siti Risani melemahkan martabat perempuan. Perempuan dianggap perempuan yang melanggar adat kesopanan yang berlaku di Minangkabau. Tidak ada  perempuan Minang yang hidup di masa itu harus menerima surat-suratan dengan laki-laki yang memang belum diketahui siapa dia sebelumnya. Apalagi dengan rasa kasmaran harus menerima cincin dari laki-laki lain yang sewajarnya tidak ada di Minangkabau selain sudah menikah. Sehingga Siti Risani dibawa lari oleh Sang laki-laki tanpa sepengetahuan orang tua perempuan tadi. Bukan sekadar itu, istri dari laki-laki yang melarikan Siti Risani tidak mengetahui bahwasan dirinya dimadu oleh suaminya.
Dari sini, kita dapat berporos dengan adanya konflik ini, perempuan bisa mengambil sisi dari feminisme yang mana akan memenangkan hak-haknya sebagai perempuan Minang. Bisa saja dengan ini, perempuan juga menginginkan jiwa dan hak yang sama dengan laki-laki. Begitu juga yang dirasakan oleh istri laki-laki yang telah dimadu, ia dipoligami karena dengan begitu ia menjadi perempuan yang beruntung menikahi laki-laki yang memang diidamankan oleh banyak perempuan.
Di dalam sebuah novel, perempuan sama hal dengan pola kehidupan dan polemik yang berkembang di masyarakat. Sosial yang berbeda tidak membuatnya ciut dan merasa kalah dalam mengangkat kedudukan dirinya semata. Walau sesamanya walau dengan lawan jenisnya. Perempuan juga berani memaparkan pendapat dan kesulitannya dalam kehidupan tanpa harus takut memberikan bantahan kepada seseorang.
Dalam novel karangan Ka’Bati dengan judul “Padusi” pengarang yang juga sebagai perempuan Minang sangat memaparkan sekali bahwa perempuan memiliki kedududukan dan martabat yang sama dengan kaum laki-laki. Di dalam ceritanya, perempuan menjadi tokoh sentral yang luar biasa menjalankan dirinya sebagai perempuan Minang yang haknya sebagai perempuan direnggut oleh ayahnya sendiri. Tetapi, ia berusaha agar kelangsungan hidupnya dan kebaikan untuk adiknya harus menjadi prioritas tinggi.
Walau terhalang oleh dana dan krisis di keluarganya, ia tetap berusaha agar kelangsungan hidupnya berjalan dengan semestinya. Bukan hanya itu, lika-liku yang ia jalankan tidak hanya hidup biasa, tetapi lebih daripada kehidupan yang dijalankan seorang perempuan biasa lainnya. Sang perempuan mengangkat kekuatan yang telah ia tanamkan bahwa Minangkabau ialah negeri yang teramat kuat untuk menjadikannya sebagai perempuan kuat. Keinginan kuliah dan merasakan kebebasan berpendapat di dunia kampus turut ia suarakan, baginya perempuan tidak hanya duduk saja tanpa dengan menerima dengan apa yang didapatkan oleh laki-laki, tetapi turut menjadi proklamator juga. Dari sosial yang seperti ini, dapat kita tarik bahwa perempuan Minang ialah perempuan yang pantang menyerah walau kepahitan datang menghadangnya.
Dalam buku yang sama, saya berpendapat mengenai penulis yang juga seorang perempuan mengeluarkan rasa yang tertanam di dalam dirinya agar dapat tersalurkan dengan baik. Sang penulis berupaya agar perempuan di Minangkabau bukan perempuan yang lemah dan takut berusaha tetapi perempuan yang kuat dengan jiwa yang super. Ini juga terwujud dalam cerita mengenai kehadirannya Sang perempuan menjadi TKI di Negeri Melayu yang membuatnya berpikir keras. Kebanyakan perempuan yang satu rumah dengannya rela saja diperlakukan sebagai apapun, tetapi perempuah Minang yang terkesan cerdik berupaya agar dirinya tidak terjerumus pada kebodohan itu.
Sebenarnya dalam novel “Padusi” ini sangat apik menjelaskan sosial budaya yang perempuan rasakan hidup di Minangkabau. Ia berupaya agar sosial masyarakat yang terkekang ini mampu ia usahakan agar dirinya mampu terswadaya dengan baik dan berguna di lingkungannya. Salah satu Sang perempuan berupaya walau dirinya terpuruk dengan keterpurukan yang tidak bisa ditebak kehancurannya, tetapi ia bisa bangkit dengan jiwa juang yang tinggi.
Selanjutnya juga turut dirasakan oleh tokoh “Sahara” yang memperjuangkan dirinya di rantau orang. Di sini, perempuan Minang mulai memberontak dari sistem sosial budaya yang berkembang di masyarakat Minangkabau sendiri, karena perempuan juga bisa pergi merantau dan mengadu kemampuannya dan turut bersaing. Sebab dengan begitu Sahara akan mendapat respon yang baik untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai perempuan. Demi memperjuangkan harta pusaka yang Sahara tinggalkan, ia mula berpendapat juga bahwa dengan begitu ia akan mudah mendapat yang luar biasa karena harta pusaka akan turun ke tangannya.
Lain dari itu, cerpen karangan Zelfeni Wimra dengan judul buku “Pengantin Subuh” pada judul cerpen “Perempuan Bau Asap” yang memaparkan terhadap perempuan Minang yang turut bekerja dengan apa yang dikerjakan oleh laki-laki. Karya ini sangat menyentuh pada perempuan yang ingin menyetarakan gendernya dengan laki-laki. Demikian, perempuan di sini juga bermain dan bersenda gurau dengan laki-laki yang bagi masyarakat dulu dianggap tabu karena ketidaksesuaian dengan norma sosial dan budaya di masyarakat Minang. Dengan begitu, perempuan menginginkan bahwa kedudukan yang sama di balai pemuda yang berlatar di karya sastra ini mampu membuka ruang agar kesetaraan itu terwujudkan.
Dari penulis yang berlatar kehidupan Minang ini membuka hal baru dalam kehidupan di masyarakat. Penulis seakan menginginkan bahwa perempuan memiliki derajat yang sama dengan laki-laki. Hal inilah yang menjadi paradok yang penulis pecahkan agar semuanya bisa menyatu dengan sosial budaya Minang dulunya sanga terkekang.
Bukan hanya masalah pekerjaan ibu dari tokoh perempuan ini yang hanya sebagai perempuan yang bekerja di dapur saja, perempuan di sini menginginkan agar harkat diri perempuan bisa terbenah dengan baik. Perempuan di luar sebagai pekerja ia juga berusaha untuk bekerja di sekolah menjadi pegawai tata usaha dan juga ingin kuliah. Ia mencoba menjelaskan dengan nyata bahwa perempuan juga mampu untuk bersaing dengan laki-laki. Bukan hanya laki-laki yang akan mendapatkan pekerjaan. Namun, perempuan juga mampu bekerja.
Dalam keeksistensian perempuan di Minangkabau, feminisme di Minangkabau dalam sebuah karya sastra sebenarnya terpapar jelas oleh penulis. Dengan kata dan kekuatan perempuan yang dimainkan membuat pembaca sastra akan tahu bahwa kekuatan dari pencitraan yang dilakukan oleh perempuan sangat baik. Dengan itulah, perempuan yang dianggap sebagai sistem matriakat di Minangkabau hanya sekadar simbol, sedangkan jiwa feminisme di Minangkabau masih sangat tinggi. Beberapa pemaparan di atas, perempuan ingin dirinya disetarakan kemampuannya di segala bidang di sosial budaya dan ekonomi, karena ada tujuan yang akan mereka capai tadi.
Bukan sekadar itu, adanya keterikatan adat di Minangkabau yang tinggi membuat perempuan Minang ingin melepaskan dirinya dari cengkaraman itu. Hal ini tergambar pada novel “Aku Tidak Membeli Cintamu” yang menginginkan dirinya tidak menjemput laki-laki untuk suaminya. Sebenarnya, ini masalah adat yang harus dipertentangkan agar semuanya dapat berjalan sesuai unsur adat yang sewajarnya. Tetapi lain pada novel ini, Sang penulis yang juga perempuan ingin jika perempuan di Minangkabau ini lepas dari uang jemputan dalam pernikahan, karena hanya merugikannya dari segi ekonomi dan kematangan keluarganya. Perempuan turut bersikeras bagaimanpun keadaan yang harus ia pertaruhkan.
Pada kumpulan cerpen “Jejak Luka dan Kisah-Kisah Lainnya” karangan Azwar Sutan Malaka, sebagian perempuan dianggap manusia lemah yang hanya menunggu takdir yang telah ada serta menjalankan dengan apa yang telah ditentukan. Semua kelukaan dan sebuah kesakitan sangat dirasakan oleh perempuan menjadi pencitraan dan lahirnya eksistensi perempuan itu dalam karya sastra. Maksudnya, perempuan yang dianggap rendah dan menerima takdir ini memiliki tujuan agar perempuan lain tidak seperti yang ia rasakan. Konflik yang dominan atas ketertindasan perempuan dari sistem patriarki yang berkembang.
Lain dari segi sosial, psikologi pengarang juga menginginkan bahwa perempuan di Minangkabau mau menurut bukan karena uang atau kekayaan tetapi karena ulah guna-guna yang memang membuatnya luka. Sebab, tak jarang perempuan Minang yang relah menerima kesakitan dirinya karena ekonomi semata dalam karya sastra.
Walau dalam paham nihilisme yang menggangap bahwa perempuan di cerita akan menerima takdir kelukaan, penganiayaan, tetapi penulis menyampaikan bahwa perempuan diseperti—inikan karena ada sebab tertentu, salah satunya tingginya feminisme yang ada. Dengan itu, perempuan bisa berdalih mengenai dirinya yang menerima takdir itu karena ada faktor yang ia cari, ada tujuan tersirat yang terdapat di dalam karya sastra tersebut.
Membahas keeksistensisan perempuan Jawa dan Minang, mereka tetap eksis dan menjadi polemik yang sangat penting dalam keberlangsungan sebuah karya sastra. Dengan adanya mereka di dalam karya sastra, seorang penulis tidak akan pernah mati ide dan gagasannya. Karena banyak yang belum tergali dan terekspos dari jati diri perempuan itu sendiri. Sebab, perempuan yang dianggap norma kecantikan itu sangat erat kaitannya dengan apa-apa yang hidup di masyarakatnya.
BAB 3
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Lahirnya sebuah paham feminisme dan nihilisme di sebuah karya sastra tidak hanya sekadar hidup semata, tetapi keduanya hidup karena faktor-faktor yang mampu mendukungnya. Apalagi perempuan Jawa dan Minang tersebut mampu tercipta baik dari sebuah karya sastra yang tertulis di dalamnya. Dengan adanya feminisme ini, perempuan dari Jawa dan Minang akan merasa bahwa dirinya memiliki peran yang sangat penting atas keberlangsungan sebuah karya.
Bukan hanya itu, lahirnya nihilis yang terkait atas ketertindasan, kelukaan dan penganiayaan batin yang dirasakan oleh perempuan sangat terbentuk baik dalam karya sastra. Sakit yang ia juga hanya fisik tetapi juga psikis yang mengguncang jiwanya. Dengan begitu, perempuan akan tetap eksis dan pencitraan perempuan tergolong ke dalam suatu dialektik yang luar biasa dampaknya.
3.2  Saran
Dengan adanya pembahasan yang seperti dijelakan di atas, mampu membuka cakrawala baru mengenai perempuan di dalam karya sastra. Semoga makalah ini tepat guna dan bermaaf sekali bagi dunia akademisi kampus dan penulis lainnya.  Jika ada kesalahan dalam kepenulisan dan salah pada pemakaian kalimat, pemakalah sangat meminta agar dimaklumkan agar dikemudian hari dapat berubah untuk memperbaiki diri. Dengan begitu, perkembangan dunia sastra di Indonesia bukan berjalan di tempat lagi, tetapi mampu berlari kencang.




DAFTAR PUSTAKA

---------. 2008. Kaba Sabai Nan Aluih. Kristal Multimedia: Bukittinggi.
---------. 2008. Kaba Siti Risani. Kristal Multimedia: Bukittinggi.
Ka’bati. 2015. Padusi. Kaki Langit Kencana: Jakarta.
Maharani, Ajeng. 2015. Animus. LovRinz Publishing: Sindang Laut Cirebon
Malaka, Azwar Sutan. 2014. Jejak Luka dan Kisah-kisah lainnya. Mujahid Press dan         Nusantara Institut: Bandung.
Ratna, Nyoman Khuta.2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Pustaka             Pelajar: Yogyakarta.
Tohari, Ahmad. 2003. Ronggeng Dukuh Paruk. Gramedia: Jakarta.
Wimra, Zelfeni. 2009. Pengantin Subuh. Lingkar Pena Publishing House: Jakarta.


Comments