Jurnal Minangkabau-Orang Minangkabau Dalam Persepsi Orang Luar Minangkabau maupun Tambo, Kesan Pertama Terhadap Orang Minang dan Pemaparan Alam Minangkabau Pada Ruang Lingkup Administrasi Provinsi Sumatera Barat Sekarang



UJIAN AKHIR SEMESTER GANJIL
JURNAL MINANGKABAU
MATA KULIAH ETNOGRAFI MINANGKABAU

Orang Minangkabau Dalam Persepsi Orang Luar Minangkabau maupun Tambo, Kesan Pertama Terhadap Orang Minang dan Pemaparan Alam Minangkabau Pada Ruang Lingkup Administrasi Provinsi Sumatera Barat Sekarang

OLEH
ARIF RAHMAN HAKIM



 
JURUSAN SASTRA DAERAH MINANGKABAU
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2015








ABSTRAK
Arif Rahman Hakim. 2015. Orang Minangkabau Dalam Persepsi Orang Luar Minangkabau maupun Tambo, Kesan Pertama Terhadap Orang Minang dan Pemaparan Alam Minangkabau Pada Ruang Lingkup Administrasi Provinsi Sumatera Barat Sekarang. Jurnal. Jurusan Sastra Daerah Minangkabau. Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Andalas.
Pada jurnal ini memaparkan bagaimana orang Minangkabau yang belum paham dan mengerti atas asal muasal dirinya. Di sini dapat diketahui atas pemahaman yang didapat dari berbagai sumber yang ada serta pemahaman yang diketahui oleh beberapa orang, baik orang Minang itu sendiri ataupun di luar Minangkabau. Bukan itu saja, pemikiran yang banyak berkecambah di benak akan dijelaskan dengan makna yang mudah dipahami. Pemahaman yang baik akan membuka jalan baru atas pemaknaan penyebutan orang Minang ataupun orang Padang. Serta sikap yang bagaimana yang akan diterapkan oleh orang Minang jika ia berinteraksi dengan orang lain yang bukan orang Minang di tanah rantau. jurnal ini turut memaparkan alam Minangkabau yang kaya dengan adat istiadat juga mempunyai batas-batas wilayah yang konkrit yang dapat mempertahankan keberkembangan nilai-nilai leluhur yang masih bergerak di daerah tersebut. Walaupun alam Minangkabau telah kontra dengan wilayah administrasi Sumatera Barat yang ada penyempitan kultural yang ada.

Kata Kunci : orang Minang, orang Padang, tambo, alam Minangkabau










KONSEP DASAR
Jurnal ini dibuat agar pemahaman orang di luar orang Minangkabau dapat mengerti dan mengetahui atas penamaan yan sering tertutur dari lisan orang Minangkabau itu sendiri. Dapat pula terpikir di benak orang yang bukan orang Minang bahwa orang Minang belum tentu dapat dipanggil orang Padang. Hal demikian, menjadi kontra dari orang Minang yang bukan berasal dari daerah Padang karena Padang merupakan salah satu kota di Sumatera Barat. Penulis ingin sekali mengangkat tema ini agar kesan-kesan awal yang tampak di pemikiran orang terhadap orang Padang dapat terapus dengan baik. Karena tidak semua orang yang mempunyai sifaf-sifat negatif yang merugikan orang lain. Sebab, di luar sifat negatif itu juga tersemat sifat positif yang dapat diambil dari orang Minang.
Rancangangan jurnal ini juga ingin menemukan asal usul nenek moyang Minangkabau yang berasal dari raja-raja yang bukan dari tanah Nusantara, apalagi bukan dari tanah Melayu. Selanjutnya juga dijelaskan atas alam Minangkabau menurut tambo yang mana penulis juga memaparkan berdasarkan pengamatannya sebagai orang yang sejak kecil sudah berada di Minangkabau. Bagaimana orang Minang bisa menyebut kata ‘alam’ untuk wilayahnya berbeda dengan orang suku Bugis ataupun suku bangsa di Indonesia ini.












PEMBAHASAN
Beberapa orang menganggap bahwa orang Minang sama dengan orang Padang. Padahal sangatlah berbeda, atas ketimbangtindihan seperti ini kita harus bisa menjelaskan perbedaan  itu. Supaya orang yang bukan orang Minang sekalian bisa menangkap perihal seperti yang diharapkan. Hampir semua orang di Indonesia bahkan di luar daerah Indonesia mengetahui orang yang bersuku Minang ini. Akan tetapi, tidak jarang mereka mengetahui bahwa orang Minang telah disamakan dengan orang Padang. Penyebabnya dikarenakan menjamurnya orang Minang di daerah rantau yang mana mereka lebih memperkenalkan diri dengan sebutan orang Padang. Sebenarnya sangat disayangkan dan sangat tragis atas penyebutan seperti itu. Bahkan orang  Minang turut membaur dengan kebanggan hati menamai dirinya sebagai orang Padang.
Jika dibuka lebih mendalam, luas ranah Minang yang elok ini mencakup seluruh daerah administrasi Sumatera Barat minus kepulauan Mentawai. Seperti ini yang kurang wajar, tidak mungkin kita yang berasal dari daerah Pariaman yang jaraknya ke Padang 58,8 km harus rela hati menerima bahwa kita orang Padang. Pandangan ini dapat kita lenyapkan, apabila kita dapat merubah pola pikir orang-ornag yang bukan orang Minang. Beberapa orang yang bukan orang Minang menyebutkan bahwa orang Minang lebih transparan menyebutkan dirinya sebagai orang Padang, walaupun ia berasal dari Bukittinggi, Pasaman, Solok ataupun daerah lain di Minangkabau.
 Orang Minangkabau yang biasa dipanggil dalam bahasa Minang ialah “urang Minang” atau lebih populer disebut “urang Padang” ini sama-sama berasal dari daerah darek, pasisia atau daerah rantau. Akan tetapi, mereka lebih sering disapa dengan sebutan ‘urang awak’. Entah kapan pembahasaan ini dikenalkan yang sudah melekat di pemikiran khalayak luas.
            (Amir M.S:1996)  menjelaskan bahwa orang Minang adalah mereka yang dapat diterima menurut adat dalam sistem kekerabatan Minang yang  matrilineal. Sedangkan mereka yang disebut dengan istilah “berdarah Minang” adalah anak-anak yang lahir dari ayah berasal dari Minang dan ibu non-Minang, dan belum dikukuhkan dalam sistem kekerabatan Minang.
Dari penjelasan di atas, pernulis dapat menangkap bahwa orang Minang sudah tentu masuk ke dalam orang Padang walaupun dari berbagai daerah yang ada di Sumatera Barat. Akan tetapi, orang Padang belum tentu masuk ke dalam unsur orang Minang. Sebab orang Padang belum tentu asli orang Minang atau hanya bertempat tinggal di Padang dengan kurun waktu yang lama yang bukan bersuku Minang. Bisa jadi orang Padang tersebut di-Minang-kan dengan cara dan prosedur adat yang berlaku.
Kita paham sekali untuk masuk ke dalam unsur kemasyarakat di Minangkabau bukanlah perkara yang mudah. Karena kebudayaan dan adat yang kuat harus bisa menampik hal-hal yang akan merusak ketatanan daerah dan adatnya. Untuk itu, kita harus bisa memahami peraturan yang berlaku. Sebab, aturan tiap nagari di Minangkabau memiliki perbedaan yang lumayan signifikan. Apalagi jika suatu nagari di Minangkabau mempunyai suku yang berbeda pula.
Dalam perjalanan sejarah yang cukup panjang menjelaskan bangsa pertama datang menginjaki kaki di tanah Minangkabau ialah bangsa yang serumpun dengan bangsa Austronesia yang datangnya itu bertahap-tahap dengan kurun waktu yang berbeda. Dengan kedatangan seperti ini turut membawa perubahan kebudayaan yang cukup besar bagi Minangkabau. Begitu halnya dengan orang Minangkabau yang katanya bahwa nenek moyangnya menggunakan perahu bercadik dan berkemudi ganda di kedua sisi bagian belakangnya sebagai perahu yang digunakan sama dari bangsa di kepulauan Asia Tenggara itu.
Berbeda dengan tambo yang mengatakan bahwa nenek moyang orang Minangkabau yang bernama Sultan Iskandar Zulkarnain dikenal dengan naman Alexander Yang Agung dari Masedonia yang pernah menjarah dunia sampai ke India. Dia memiliki tiga orang anak laki-laki bernama Maharaja Alif anak pertamanya menjadi raja di benua Ruhum atau dalam tambo ditulis sebagai Romawi Timur. Maharaja Dipang atau sering dipanggil Maharaja Depang, anak keduanya berlayar ke Cina dan berhasil menaklukan Jepang. Hingga anak terakhirnya yang bernama Maharaja Diraja bersama istri, Cati Bilang Pandai serta rombongan berlayar ke selatan. Di lautan, mahkota yang dipakai Maharaja Diraja terjatuh dan terlilit oleh naga laut yang sangat gans. Dengan begitu, dikarenakan Cati Bilang Pandai yang arif bijaksanalah mampu memikirkan sesuatu hal yang bisa membuat tiruan mahkota yang terjatuh tadi.  Akhirnya rombongannya sampai di daerah yang bernama Lagundi nan Baselo atau disebut Legundi yang bersila, hingga ia sampai di puncak  Gunung Merapi yang mulanya hanya sebesar teluk itik. Entah hal ini ada benarnya atau sebagai kiasan dalam perjalanannya mereka tersebut.
Setelah beberapa lamanya, laut yang semakin menyusut membuat pemikiran baru untuk membangun permukinan di lereng Gunung Merapi. Nagari yang pertama dibangun bernama Pariangan. Nama Pariangan berasal dari kata riang yang mana kedatangan Maharaja Diraja dengan rombongan dengan sangat gembira dan bekerja dengan senang hati.  Hingga penduduk rami dan semakin banyak maka dibuatlah nagari ke dua yang dinamai dengan Padang Panjang. Asal muasal nama nagari ini juga diawali atas pembabatan semak dan hutan di daerah tersebut menggunakan pedang yang panjang.
Maharaja Diraja datang bukan hanya bersama istri dan Cati Bilang Pandai saja, tetapi bersama empat perempuan yang bernama Harimau Campa, Kuciang Siam, Kambiang Hutan dan Anjing yang Mualim. Nama tersebut bukanlah nama perempuan yang dipaparkan dalam sebuah tambo, melainkan nama asal mereka berasal dulu. Beberapa orang berpendapat bahwa nama yang disebutkan perempuan bukanlah itu kiranya, itu hanya pengumpaan semata. Umpamanya seperti Harimau Campa berasal dari daerah Campa dengan watak yang mungkin menyerupai harimau. Di Minangkabau kita sering mendengar dengan sebutan Harimau Campo untuk daerah Agam yang mana watak orangnya yang keras, berani dan suka berkelahi. Pengumpaan Kucing Siam juga dapat diibaratatkan dengan asalnya di Kocin dan Siam. Hal ini juga sering kita dengar dengan penamaan salah satu luhak di Minangkabau merujuk pada Kuciang Siam di daerah Luhak Tanah Datar yang mana dikiaskan bahwa buminyo nyaman, airnya tawar, dan ikannya banyak. Selanjutya Kambing Hutan diumpakan dengan daerah Kambay. Anjing yang Mualim diumpakan daerah asalnya di Maumein negara Burma sana.
Dari sanalah nenek moyang orang Minangkabau yang dijelaskan dri beberapa tambo. Beberapa sudut pandang yang berbeda, ada sebagian yang memaparkan bahwa itu hanyalah cerita yang dipusakai turun-temurun secara lisan oleh orang Minangkabau, bahkan ada yang menambahkan dengan cerita yang tidak jelas oleh kebutuhan seseorang.
Salah satu yang kita ketahui dari penjelasan di atas atas nenek moyang orang nenek tersemat pada peribahasa-peribahasa yang berkembang di Minangkabau. Kita sebut orang Minang karena nenek moyang kita berasal dari Gunung Merapi dengan peribahasa ini berikut ini:

Dari mano titiek palito,
di baliak telong nan batali.
Dari mano asa niniek kito,
dari ateh Gunuang Marapi.
Dari mana titik pelita,
di balik tenglong yang berlai.
Dari mana asal ninik kita,
dari atas Gunuang Marapi.

Minangkabau masuk dalam etnis Melayu. Semenjak abad ke-19, Minangkabau dan Melayu mulai dipisahkan dari beberapa aspek dalam kehidupan. Ini terlihat jelas dari garis keturunan yang dianut masing-masing etnis. Minangkabau yang memakai garis keturunan Matrilineal yang berpangkal dari garis keturunan ibu tidak bisa disamakan dengan Melayu yang memakai garis keturunan Patrilineal yang berpangkal dari keturunan Ayah.
Mengenai orang Minangkabau, orang di luar Minangkabau seperti orang Jawa dan Bugis yang saya wawancarai menganggap pada budaya merantau tidak lepas dalam kehidupan orang Minang. Merantau telah turun temurun menjadi pengadaptasian untuk melakukan perubahan dan kepentingan. Orang Minang yang merantau memang dilakukan sudah lama. Banyak perantau Minang yang mapan dan bisa menjadi pemimpin di daerah orang. Denga demikina, orang Minang yang lebih banyak membuka rumah makan dengan mudah menamai dengan rumah makan Padang, dan mereka kembali menyampaikan identitas diri sebagai orang Padang.
Sesuai dengan pepatah Minang yang berbunyi karatau madang di hulu, babuah babungo balun, marantau bujang dahulu, di rumah baguno balun.” Pepatah ini menjadi awal pembentukan semangat dan pendorong jiwa pemuda Minangkabau untuk merantau. Jika hal ini tidak ia laksanakan, maka mereka akan merasa malu dan buruk pandangan orang kepadanya. Demikian pepatah yang menjadi pedoman yang sangat dipegang teguh orang Minangkabau. Dahulu, budaya merantau hanya dilakukan seorang laki-laki yang memang telah mempunyai bekal basilek atau bekal lainnya. Tetapi sekarang pihak perempuan sudah mulai mencoba merantau. Mengadu nasib sama halnya dengan laki-laki. Ini semua sebenarnya tidak terlaksana pada budaya Minangkabau, dikarenakan oleh sumber daya alam yang tidak terkesan baik membuat orang Minang hendak merantau. Sekarang pun budaya merantau bukan hanya mengadu peruntungan ataupun itu, lebih kepada masalah pendidikan. sudah banyak orang Minang yang pergi ke daerah lain untuk merantau menuntut ilmu dan pengetahuan.
Kesan yang akan tampak bagi sebagian orang yang bukan orang Minang terhadap orang Minang sangatlah beragam. Ada sebagian orang yang merasa dirugikan atas kehadiran orang Minang di daerahnya. Memang dapat diakui, orang  Minang mempunyai sosok yang luar biasa dalam bergaul maupun malobi dalam perdagangan atau berinteraksi dengan orang lain. Beberapa orang menganggap bahwa orang Minang ialah orang yang sangat licik, cerdik, tidak mau diperintah atau direndahkan. Sesuai dengan pepatah Minang “Takuruang nak di lua, tahimpik nan di ateh” pepatah ini telah menjadi simbol yang kuat yang dipegang teguh oleh orang Minang.
Orang Minang yang sering terkesan cerdik itu tampak jelas dalam kehidupan. Bagaimanapun keadaan dan kondisi, mereka bisa saja memanikan waktu sesuai seenaknya dan berbuat jika itu menguntungkannya. Ada beberapa perkatan yang pernah penulis tangkas bahwa indak urang Minang jikok indak cadiak. Ada pula yang memaparkan ungkapan yang membuat orang Minang terasa tidak terlalu bodoh di rantau orang yaitu “urang Minang ko andianyo sahari di rantau urangnyo, sudah tu dilalahnyo rantau urang tumah.”
Mengenai orang Minang tidak habis-habis kita bahas, dari sifat negatif atau sifat positifnya. Tetapi kita sendiri orang Minang tidak lepas dari sifat negatif. Entah kenapa, jika penulis turut berpikir mengenai kesan yang akan muncul mengenai orang Minang bahwa sifat galie, licik, cadiak buruak, pandai mangecek, pilik dan sebagainya terkadang membuat penulis merasa malu dan memang telah mendarah daging pada diri orang Minang sendiri. Lebih dari itu penulis juga merasa bahwa orang Minang ialah orang yang pandai, berpikir keras, pekerja keras dan berkarakter sangat melekat di dirinya. Itu pun juga dipaparkan oleh orang-orang yang penulis wawancara dari latar belakang suku Bugis dan suku Sunda.
Membahas alam Minangkabau yang begitu elok tak bisa kita lepaskan dengan daerah darek, pasisia dan rantau. Karena ketiga daerah ini memang terkesan pada alam Minangkabau. Beda dengan suku bangsa di Indonesia seperti orang Bugis, Jawa, Toraja, Bajo, ataupun Sunda yang lebih menyebut wilayahnya dengan kata ‘tanah’ atau ‘bumi’ . Orang Minang lebih memakai kata ‘alam’ dalam menyebutkan daerah atau wilayahnya. Hal ini juga berpedoman pada tambo alam Minangkabau yang telah menjadi perkataan turun temurun.
Buku “Tambo Alam Minangkabau” menjelaskan atas asal dari alam Minangkabau yang berisi.
Pado maso sabalun babalun-balun, urang balun pinang pun balun, samaso tanah ameh ko sabingkah jo Simananjuang, kok gunuang baru sabingkah batu, tanah darek balun lai leba..., lah timbue Gunuang Marapi.
Terjemahaan:
“Pada masa serba belum, orang belum pinang pun belum, semasa tanah emas ini masih menyatu dengan Semenanjung, gunung baru  sebingkah batu, tanah daratan belum lebar..., sudah timbul Gunung Merapi.”
Sebenarnya banyak para ahli yang memetakkan daerah Minangkabau berdasarkan ilmu Geologi ataupun ilmu lain.
Dalam buku “Kato Pusako” sangat jelas memaparkan alam Minangkabau dalam sebuah pepatah yang sudah kita ketahui sebelumnya. Dalam pepatah yang cukup panjang, penulis menafsirkan bahwa alam Minangkabau menjadi alam atau tanah yang begitu indah dengan hamparan Bukit Barisan dengan gunung-gunung yang tersaji baik di hamparan daratannya. Dengan begitu, kita sendiri bisa menangkap baik jika alam Minangkabau menjadi alam yang sangat subur dan merupakan sebuah keberuntungan bagi orang Minang. Di sini dijelaskan alam Minangkabau sangatlah luas dari wilayah administrasi Sumatera Barat (minus gugusan kepulauan Mentawai), seluruh wilayah administrasi Riau sekarang, sebagian wilayah pesisir barat Aceh, sebagian pesisir timur Sumatera Utara, sebagaian Jambi dan Bengkulu serta wilayah rantau Negeri Sembilan Malaysia. Hingga sekarang, adat dan budaya Minangkabau masih tampak di daerah di luar provinsi Sumatera Barat seperti daerah pesisir Aceh masih memakai adat malamang yang hanya dapat kita lihat di Minangkabau. Daerah Riau dan sebagian Bengkulu dan Jambi masih memakai tata bahasa Minangkabau yang sangat kental walau tercampur dengan logat dan ketatanan bahasa Indonesia.
Alam Minangkabau tidak lepas dari daerah luhak dan rantau, pembagian dari wilayah itu dilalui dengan jalur-jalur mengelana dan menebas hutan dan semak di alam Minangkabau untuk mendirikan permukiman. Perjalanan untuk melakukan dari nagari Pariangan di sebelah selatan Gunung Merapi sebagai arah tujuannya yaitu Jalur Muara Takus, Limbanang, dan Sumanik dinamai Luhak Lima Puluh, dan Jalur Rokan, Rao, Bonjol dan Batipuh dinamai Luhak Agam serta Jalur Kampar Kiri, Buo dan Suruaso dinamai Luhak Tanah Datar. Selanjutnya perjalanan itu menuju Solok yang diteruskan ke Alahan Panjang, Bayang, dan Indrapura yang masuk ke daerah Pesisir Barat dan lanjut juga ke Sijunjung, Sungai Dareh, dan Malayu yang masuk ke dalam wilayah Batanghari. Hingga melanjut ke daerah rantau dan pesisir di Minangkabau.







HASIL WAWANCARA
Muhammad Subhan, seorang novelis memaparkan bahwa di luar Sumatera Barat, orang Minang lebih dikenal sebagai orang Padang. Alasannya, rumah makan Padang banyak di mana-mana. Dengan begitulah, penamaan tersebut muncul secara alamiah. Apalagi orang Minang lebih sering menyampaikan identitasnya sebagai orang Padang. Seperti di Kediri lokasi FAM Indonesia berdiri, Muhammad Subhan juga ketua forum kepenulisan itu lebih biasa menyatakan bahwa ia lebih mengungkapkan identitasnya sebagai orang Padang karena lebih mudah dikenal dan ditangkap oleh pemikiran orang sana. Walaupun beberapa orang yang mengetahuinya lebih dijelaskan asalnya di Minangkabau sendiri.
Untuk sifat dan kelakuan orang Minang yang dianggap licik dan suka menang sendiri tidak bisa dinilai umum atas perangai seperti itu. Mungkin kekecualian saja, dikarenakan alasan-alasan tertentu juga pengalaman di lapangan. Sebenarnya, orang Minang berjiwa pemimpin, dia tidak mau diatur tapi mengatur. Makanya, tak jarang yang menjadi pembantu, pesuruh atau menjadi Tenaga Kerja Indonesia lebih mendominasi orang Jawa atau suku lain yang bukan orang Minang.
Mardhiyan Novita, S.S. alumni Universitas Gajah Mada juga perempuan Pariaman berdarah Minang juga novelis ini memaparkan bahwa orang Minang lebih dikenal dengan orang Padang dikarenakan faktor pemahaman yang mudah dipahami oleh orang lain. Orang yang bukan orang Minang lebih memudah mengingat bahwa orang Minang pasti orang Padang. Dalam pemikiran orang Jawa yang seperti yang dipaparkan bahwa orang Minang ialah orang yang pelit dan sangat perhitungan. Tetapi orang Minang mempunyai jiwa gigih, ambisius, berwawasan modern tanpa meninggalkan nilai budaya lokalnya.
Esa Klara Sukmawati, alumni Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Tangerang yang juga perempuan yang bersuku Sunda menyatakan bahwa orang Minangkabau bukan berasal dari orang Melayu, mereka lebih menggagap dirinya sebagai orang awak. Dengan demikian itu, mereka orang Minang juga sering menyampaikan bahwa dirinya orang Padang. Karena padang memang tempat bagi pendatang, di mana perubahan maupun pemaksaan budaya juga dimulai dari daerah ini. Maka dari itulah, orang Minang menyebutkan orang Padang karena mudah dipahami oleh semua orang. Dalam kesan pertama terhadap orang Minang ialah orang yang berpikir yang tidak baik atau suka berpikir negatif ‘jorok’, akan tetapi mereka ialah orang yang baik dan berpengetahuan yang luar biasa.
Nurhikmah Mustamin Imma, mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah Bugis Universitas Negeri Makassar yang berdarah Bugis ini menyatakan bahwa orang Minang lebih bangga dipanggil orang Padang. Orang Minang mudah menyampaikan identitasnya kepada masyarakat di Makassar sebagai orang Padang, apalagi Padang menjadi ibukota provinsi yang dikenal jelas orang lain. Kesan pertama yang terlintar di bebak mengenai orang Minang sangat baik dan ramah. Memiliki pemahaman dan pengetahuan yang lebih. Orang Minang bisa mengembangkan pemikirannya dengan baik. Untuk alam Minangkabau, memang Minangkabau atau lebih dikenal Sumatera Barat memiliki daerah yang indah dan daerah yang dibelah oleh Bukit Barisan dan juga termasuk Riau yang juga masih dalam rumpun Melayu atau Austronesia.


ANALISIS
           
            Dari penjelasan yang telah dipaparkan sebelumnya, kita paham atas orang Minang yang berdarah Minang dan orang Padang yang bukan berdarah Minang. Dapat pula kita ambil kesan bahwa orang Padang yang berdarah Minang dan orang Minang yang hanya berdarah keturunan Minang. Entah kapan pemahaman yang seperti ini berkembang di pemikiran orang Minang. Semoga saja kita saling memahami dan mampu membuka diri atas orang Minang tersebut.
            Sifat orang Minang yang suka merantau menjadi analisis bagi penulis untuk mengemukakan atas kesan-kesan yang didapat dari daerah rantaunya. Jika tidak pergi merantau, kita orang Minang juga tidak akan dapat kita pahami bahwa kita memiliki kesan negatif atau positif dari sudut pandang orang diluar Minangkabau. Dengan demikian kita saling mengetahui di mana kesalahan dan timbang tindih yang merusak diri kita.
            Dengan begitu, kita akan mudah memahami asal muasal nenek moyang kita yang lebih dipaparkan oleh tambo yang hanya dipercayai 99% hanya dipercayai kebenarannya. Apalagi tambo secara turun temurun dulunya terbentuk dari tradisi lisan orang Minang dan dapat juga kita dibumbui dengan cerita dan dongeng sesuai keinginan dari penutur atay yang mendengarkannya. Proses inilah yang membuat kita untuk saling berpikir, apakah nenek moyang kita hanya berasal dari sebuah dongeng belaka atau memang adanya dari bumi Minangkabau itu sendiri. Walaupun belum terpecahkan, karena analisis yang seperti ini amatlah sulit untuk dimamah oleh penulis yang masih mahasiswa.
            Hingga akhirnya, barulah kita memaparkan keberadaan Minangkabau yang juga dipaparkan dalam tambo. Akan tetapi, kita dengan baik dapat melihat dengan baik dan seksama bahwa wilayah atau daerah Minangkabau itu memang adanya sesuai apa yang ada dalam tambo. Walau begitu kiranya, penulis masih mempertimbangkan sesuatu yang masih menganak di pemikiran atas pepatah-pepatah yang menjelaskan alam Minangkabau yang amat rumit dan terkesan terlalu mempersulit masyarakat Minang untuk mengetahui daerahnya sendiri.
KESIMPULAN
Kesimpulan
            Orang Minangkabau itu ialah orang-orang yang diterima secara adat dan peraturan suatu kaum di Minangkabau dalam sistem Matrilineal. Orang-orang yang belum dikukuhkan sebagai orang Minang dalam sistem adat yang mana ayahnya orang Minang dan ibunya non-Minang. Pada hal ini bisa saja berdarah Minang dan dikukuhkan sesuai dengan adat, serta juga bisa dengan proses malakok di Minangkabau.
            Alam Minangkabau dan nenek moyang Minangkabau dipaparkan sangat jelas dalam tambo. Hal ini memang sangatlah butuh pemahaman yang sangat mendalam. Akan tetapi, alam Minangkabau dapat kita paparkan bahwa apa-apa yang ada di wilayah ataupun daerah yang menganut entografi-budaya Minangkabau. Nenek moyang berasal berasal dari Nur Muhammad, anak keturunan Iskandar Zulkarnain (Alexander the Great) yang dijelaskan oleh tambo.

Saran
            Sebagai orang Minang, kita seharusnya bisa menyampaikan dan mampu menganalisa atas asal usul orang Minangkabau dan siapakah orang Minangkabau itu. Tidak hanya menampung dan menunggu untuk dijelaskan oleh orang yang bukan dari orang Minangkabau dan diperbodohnya. Kita bisa menelaah apa-apa yang diterangkan dalam tambo untuk kebenaran dan faktanya.
           





SUMBER REFERENSI :
A.B. Dt. Madjo Indo. 1999.  Kato Pusako: Pepatah, Petitiih, Mamang,  Pantun, Ajaran    dan Filsafat Minangkabau. Jakarta: Pt Rora Karya.
Amir, M.S. 2006. Adat Minangkabau: Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang. Jakarta:      Pt Mutiara Sumber Widya.
Latief, N dan Dt. Bandaro. 2002. Etnis dan Adat Minangkabau (Permasalahan dan          Hari Depannya). Bandung: Angkasa.
Navis, A.A. 1984. Alam Terkembang Jadi Guru ( Adat dan Kebudayaan Minangkaba ).    Jakarta: Penerbit Grafiti Pers.
Pilang, Edison dan Nasrun Dt. Marajo Sungut. 2014. Tambo Minangkabau (Budaya dan   Hukum Adat di Minangkabau). Bukittinggi: Kristal Multimedia.

Comments