Ibu dan Sebiji kopi

Pagi cukup panas.
Sang fajar lupa diangkat dari panggangannya semalam. Makanya membiaskan cerahnya ke muka bumi.
Dan jika Engku tahu, pagi ini pula aku menyeruput secangkir kopi yang telah disangrai ibu kemarin. Saat rona langit redup-redup canggung.
Sungguh, dari seangkir kopi dan dua potong roti tawar pabrikan di sebelah rumah itu kembali membangunkan imajinasi baru. Mengenyam pagi terasa sedap untuk dijajakan.

- Arif Rahman Hakim -
Cubadak Aia


----------


Ibu masih saja menyangrai kopi yang telah kami petik sore tadi. Matanya sangat berbinar. Dan aku menatapnya dengan hati.
"Ah, Ibu. Sejak kapan ini akan selesai? Mari gantian, biar Arif yang mengerjakannya," celetukku senyam.
"Yah. Kau pula yang menyelesaikannya. Setiap biji kopi ini sudah ada hatimu. Dan setiap ia berubah ada pula jiwamu!"
"Maksud Ibu aku disangrai seperti kopi?" gumamku malas.
"Filosofinya, engkau anakku yang tak perlu menyangrai. Jika saja kau ingin. Ciptakan dalam setiap bijinya ada aku. Dan kau telah kutempa selama bertahun Sama seperti kopi ini."

Ibu kembali tersenyum, matanya berbintang indah. Masih saja seperti dulu. Selepas memetik kopi Subuh lalu.

----
 Bersambung......

-Arif Rahman Hakim-
Pariaman, 19 Desember 2015


Comments