Cerita Untuk Dinda
Pagi ini, awan-awan sudah kembali menggulung kehadirannya. Melipat patahkan kenistaan malam.
Hei, tak lagi kudengar suara pipit penuh cinta. begitupun dengan ayam jantan yang lesu dengan teriakan manja.
"Bangun, silakan saja. Aku bukan budak yg kau suruh manusia biadab," celetuk ayam jantan itu masih terdengar oleh inderaku.Tapi, aku tak mampu membalas ocehannya itu. Aku tak mampu, karena lontang-lantung semua oleh manusia. jikalau aku membantah, aku akan dicarutkannya.
Hei, tak lagi kudengar suara pipit penuh cinta. begitupun dengan ayam jantan yang lesu dengan teriakan manja.
"Bangun, silakan saja. Aku bukan budak yg kau suruh manusia biadab," celetuk ayam jantan itu masih terdengar oleh inderaku.Tapi, aku tak mampu membalas ocehannya itu. Aku tak mampu, karena lontang-lantung semua oleh manusia. jikalau aku membantah, aku akan dicarutkannya.
Suara bayi dan bocah kecil acap kali membangunkan Shubuhku. Merengek seteguk susu dan selimut kain paco yg membungkus kulit lisutnya.
Bocah kecil yg ku kenal naura lebih senang menggangguku sebelum dan sesudah pulang kuliah.
"Bang, ada cerita dongeng baru gak? Pasti ada. Kan sudah pulang, dikasi tugas sana guru," rengeknya kepadaku.
Akupun hanya mampu melempas senyum dan mengarang bebas untuknya. sebenarnya bebanku lebih berat dr apa yg ia bayangkan.Ya,begini. sampai saat ini, ia masih memunggu cerita dariku. Menunggu di balik jendela kamar kos-ku.
Bocah kecil yg ku kenal naura lebih senang menggangguku sebelum dan sesudah pulang kuliah.
"Bang, ada cerita dongeng baru gak? Pasti ada. Kan sudah pulang, dikasi tugas sana guru," rengeknya kepadaku.
Akupun hanya mampu melempas senyum dan mengarang bebas untuknya. sebenarnya bebanku lebih berat dr apa yg ia bayangkan.Ya,begini. sampai saat ini, ia masih memunggu cerita dariku. Menunggu di balik jendela kamar kos-ku.
Cerita Untuk Dinda
Oleh Arif Rahman Hakim
Mahasiswa sastra daerah minangkabau
FIB-Unand
Padang, 2 oktober 2015
Padang, 2 oktober 2015
Comments
Post a Comment