KESETARAAN GENDER DAN PERSAINGAN MENINGKATKAN RASA FEMINISME DI MINANGKABAU
KESETARAAN GENDER DAN PERSAINGAN MENINGKATKAN RASA FEMINISME DI MINANGKABAU
Oleh Arif Rahman
Hakim
Mahasiswa Sastra Daerah Minangkabau
Fakultas Ilmu Budaya - Unand
Kebersamaan
dan kesamaan dalam kehidupan masyarakat homogen bukanlah perkara yang mudah.
Adapun pada hal ini, bukan menjadi aspek dan titik berat yang baik. Kita tahu
dengan pemikiran ini akan menimbulkan sesuatu hal yang akan menjadi perkara
yang runyam dalam bermasyarakat. Masyarakat Minangkabau yang menjunjung tinggi
falsafah “alam takambang jadi guru”
sangat menjadikan alam sebagai guru. Mereka lebih banyak belajar pada alam. Alam
yang mempunyai unsur seperti air, tanah, api, maupun udara mempunyai sifat dan
karakteristik yang sangat berbeda. Maka dari itulah, sebagai masyarakat
Minangkabau yang berpedoman pada aspek ini mampu menyaring dalam pemikiran yang
matang.
Mereka yang pandai memainkan pola
hidup akan menciptakan sesuatu pemikiran yang baru. Bagi sebagian perempuan di
Minangkabau, mereka seakan menuntut hak dan kewajiban yang sama dengan kaum
laki-laki. Mereka berpendapat bahwa dengan ilmu dan pengetahuan yang sepadan
akan terjadi persaingan dalam memperoleh kedudukan dan pangkat. Kita dapat
melihat pada kenyataan yang ada. Dari berbagai perguruan tinggi yang bersemayam
di bumi Minangkabau lebih dominan di kuasai oleh kaum perempuan. Mereka menyatakan
secara tidak langsung atas kebenaran
itu.
Kita tahu, kedudukan perempuan
Minangkabau lebih mengurusi semua permasalahan di Rumah Gadang. Mereka akan
lebih idenpenden dalam perkara itu. Andaipun begitu, mereka merasa memiliki hak
dalam mengurusi harta pusaka di kaumnya. Sebelumnya, kita telah sama-sama paham
bahwa masyarakat Minangkabau yag menganut sistem matrilineal untuk urusan harta
pusaka akan diturunkan ke kemenakan. Baik kemenakan laki-laki dan perempuan. Kemenakan
laki-laki lebih pada mengusahakan dan menggarap harta pusaka sedangkan
kemenakan perempuan lebih pada kepemilikannya. Untuk kebersaman akan lebih terasa kental pada pembagian warisan
dan harta pusaka. Kendatipun begitu, pada masa ini. Seorang mamak yang tak
mampu mengelola harta pusaka akan dianggap orang yang rendah pada kaumnya.
Harta pusaka bagi perempuan saat ini baik pengelolaan dan kepemilikan akan ia
kuasai dengan sendirinya, tanpa campur tangan pihak lain.
Lebih dari itu, bagaimanapun
kedudukan perempuan dengan laki-laki tidak di pandang atas pangkatnya di suatu
kaum. Mereka akan membicarakan bahwa laki-laki dan perempuan akan di pandang
sama jika memiliki pendidikan yang baik. Begitupun pada urusan lainnya, mereka
seakan berlomba dan tidak mementingkan siapa dia, darimana dia dan untuk apa
kesini. Keberagaman dan tingkah laku tadilah yang meningkatnya persaingan dalam
kehidupan.
Dalam mempertahankan kehidupan,
orang minangkabau tidak jarang menggunakan falsafah yang sudah lama dianutnya.
Meskipun perempuan yang memiliki peranan “Bundo
Kanduang’ di kaumnya akan melanda laki-laki yang tak berpendidikan. Mereka akan
berupaya keras serta berlomba untuk memperoleh kejayaan. Pihak perempuan di
Minangkabau sangat jarang paham dan mengerti mengenai adat dan kesopanan dalam
bermasyarakat. Dengan rasa ketertinggalan dari kaum laki-laki, mereka mau-mau
saja untuk melakukan upaya agar kesetaraan gendernya dapat berlaku.
Sangat berbeda dirasakan dalam
keseharian. Para perempuan akan lebih tidak dihargai jika dipersilahkan duduk
dalam angkutan kota. Mereka akan berupaya agar kursi yang sudah ditempati oleh
laki-laki mampu ia peroleh. Dengan pandangan semacam ini, sebagian orang akan
berspektif bahwa gerakan kesetaraan gender akan muncul jika pihak perempuan
terpuruk dan hancur. Maupun dari segi lain, pihak perempuan akan lebih kuat dan
merasa bahwa gender bukanlah penghalang dalam keberhasilan apabila kesuksesan
mampu ia peroleh.
Beda halnya dengan kekuatan dan
kodrat alam. Perempuan yang mempunyai kodrat alam yang lemah tidak begitu
mementingkan atas dirinya. Kita sama paham, bahwasannya perempuan diumpamakan
sama dengan “antimun” yang berfisik lemah. Tanpa bantuan orang lain, ia tidak
akan mampu dalam mengurusi kehidupan. Begitulah pandangan sementara. Tapi, lain
halnya pada dewasa ini. Fisik lemah tidak menjadi pembanding dalam aktivitas di
muka bumi. Dengan persamaan memperoleh hidup yang layak dan pendidikan serta
pengetahuan yang luas bukan menjadi penghalang dalam bersaing. Baik pada bidang
kesehatan, pendidikan, kemasyarakatan maupun organisasi sosial akan lebih di
pegang peranannya oleh perempuan. Sekalipun laki-laki dengan tingkat pendidikan
yang sama. Di satu sisi, kita dapat berpikir bahwa menjalankan tugas dan amanat
yang di pegang oleh perempuan akan berjalan baik. Di sisi lain, dengan peranan
yang sudah di pegang oleh perempuan secara tidak berpapasan akan merasa kontra
dalam pemikiran laki-laki.
Masyarakat Minangkabau yang berpaham
atas kedudukanyang sama dalam kehidupan juga di pandang lain oleh perempuan. Dalam
paham egaliter saja, perempuan akan menjadikan bahwa pangkat bukanlah
penghalang. Banyak perempuan Minang yang ingin menyetarakan gender. Bukan hanya
dalam sosial, banyak buku terbitan dalam bentuk cerita pendek dan novel yang
menyatakan bahwa fisik dan jenis kelamin bukan penghalang untuk maju. Tapi
dengan otak dan pemikiran yang berwawasan. Tapi anehnya, pada dewasa ini. Laki-laki
seakan tutup telinga, memejamkan mata serta bungkam atas kesetaraan dan
persaingan yang diperbuat oleh perempuan.
Dalam dunia perkuliahan. Sebagian perempuan
akan berpendapat “ rancak den ndak
kamaniru,cadiak den ndak kabatanyo, kayo den ndak kamamintak”. Dalam artian
sempit saja, perempuan akan menjadikan dirinya setara dan persaingan bukanlah
cerminan dari diri seoarang laki-laki. Jika pada diri laki-laki saja bisa
melakukan hal tersebut, maka mereka akan bisa melakukan hal yang sama. Pada
berorganisasi saja, sungguhpun laki-laki yang memegang peranan yang kuat,
mereka juga merasa bahwa tanpa dirinya semua tidak akan berjalan semestinya.
Dari berbagai pemikiran, sebagian orang
berpendapat bahwa feminisme di Minangkabau dijunjung tinggi. Ini jelas terlihat
pada sistem kekerabatan matrilineal yang dianut. Kalaupun begitu, sebagian orang juga akan berpendapat bahwa dengan semacam
itu. Kedudukan laki-laki yang tidak paham dengan “alua jo patuik” akan
tersisihkan dalam persaingan yang kuat. Dengan harta pusaka tadi, perempuan
akan menjadi lebih memiliki modal atau income
yang besar untuk berbuat sesuatu. Walaupun dengan cara tersebut, perempuan dengan
rasa kesetaraan gender yang ia lahirkan juga berpengaruh besar pada kehidupan. Mereka
akan lebih pintar dan cerdik dalam memilih dan memilah untuk pasangannya. Suatu
perkawinan di Minangkabau berkuasa penting ialah pihak laki-laki (mamak) perempuan. Akan tetapi lain
halnya, perempuan akan mempunyai wewenang yang tinggi dan mempunyai keputusan
sendiri urusan jodohnya. Apabila sangat bertentangan dengan keinginannya,
mereka lebih leluasa dan berhak atas kesamaan dalam menentukan kehidupannya. Dan
upaya mereka akan lebih pro-aktif dengan perkembangan teknologi dengan
menyatakan atas penjajahan terhadap kaum perempuan. Jadi dari sinilah, feminisme
dengan kesetaraan gender dan persaingan dalam mempertahankan hidup akan lebih
kuat terasa jika kesamaan hak dan kewajiban perempuan mulai terancam.
Kapalo
Koto, 25 Agustus 2015
Comments
Post a Comment