Artikel Budaya Minangkabau


“Seakan Budaya Minangkabau Tertidur Pulas Atau Bangun Dari Batu Nisan”
(Edisi Pariaman)
Oleh  Arif  Rahman  Hakim
Mahasiswa Sastra Daerah  Minangkabau 014
          Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Andalas


S
ebuah suku yang  muncul serta menyeruak mengisi keberagaman di bumi ini ialah Minangkabau. Minangkabau telah lama disebut-sebut oleh para penikmat seni atau budayawan. Mengenai bahasan ini,hampir seluruh pelosok dunia sesungguhnya telah terlalu apik dengan Minangkabau. Bukan dari seni atau budaya saja, Minangkabau mampu tersenyum lebar setelah masakannya menduduki bangku teratas di kancah dunia.

Dampak dari hal tersebut, mulailah berkembangnya budaya dan seni dengan mencari lekukan baru atas kehilangan atau keperosotan budaya yang telah terjajah oleh pengaruh barat. Sampai saat ini, banyak budayawan Minang bertahan  atas tradisi yang dianggap kulot, tetapi ada juga para budayawan Minang mencoba dengan persentuhan-persentuhan asingnya. Seperti yang telah kita ketahui, Minangkabau seperti rindu akan pewaris di hari esok. Dari kerinduan yang memuncak, lahirlah para generasi muda walaupun hanya seperciknya menjelma menjadi rumput di atas air.

                        Budaya di Minangkabau serta tradisi uniknya  seakan terseret dalam arus yang terlalu kejam untuk dirinya. Dalam urusan budaya, Minangkabau diwarisi oleh seribu bahkan sejuta tradisi yang takkan mampu kita pahami satu persatu. Dari tradisi mandi balimua saja, kita seperti dibumbui oleh persentuhan kebudayaan India. India datang ke Minangkabau bukan untuk berdagang ataupun menyebari agama saja, tapi mereka datang ke Minangkabau  mengembuskan tradisi di negerinya. Balimau biasanya membasahi sekujur tubuh dengan air yang dicampuri dengan limau ( jeruk nipis) serta dengan dedaunan maupun bunga yang semerbak harumnya. Dalam tradisi balimua, di setiap daerah memiliki kekhasan masing-masing. Tetapi, pada saat sekarang balimau di pemikiran para pemuda merupakan tradisi untuk menghibur dirinya dan membuat kegiatan yang bersifat negatif. Mereka pun mampu membuat aktivitas serta perubahan atas mkna dalam tradisi Balimau . Untuk itulah, perlunya  pemahaman yang harus diluruskan oleh pemuka agama dan adat  atas prespektif dari pikiran pemuda yang merancu akan kebodohan serta perangai merusak moral dan citra atas adat istiadat masyarakat Minangkabau.

Berlalu dari hal diatas, kita  perhatikan di sebuah negeri di pesisir Minang yang mana budaya Minangkabau seakan hanya berkedip beriringan nafas. Negeri tersebut seakan terendam serta terhipnotis akan sentuhan dari luar Minangkabau. Bukan berarti mereka yang hidup di pesisir tidak memakai kebudayaan Minang. Mereka pun mampu menyatukan budaya luar dengan budaya Minangkabau. Dari tradisi yang turun berkepanjangan  dan  mengantisipasi lunturnya tradisi ini, telah banyak upaya yang di tempuh oleh masyarakat serta pemimpin di negeri tersebut. Negeri tersebut bernama Pariaman. Sebuah ibu kota kabupaten yang melahirkan keberagaman khazanah budaya. Tak dapat dipungkiri lagi, banyak bermunculan seni dan kebiasaan yang tak di kenal oleh banyak orang misalnya saja Sulaman. Hiasan glamour yang biasanya dipakai dalam perhelatan, pengakatan penghulu dan lainnya sebagainya ini merupakan kerajinan tangan yang hanya dapat dilihat di kota Pariaman saja. Sulaman yang sangat terkenal ialah Sulaman Nareh dengan motif yang super cantik dan menawan hati. Sulaman ini sebenarnya telah lama di rundung murung, terlena akan kesan yang kurang stategis dan ketinggalan zaman serta terpaku dengan debu yang menyelimutinya. Seiring dari terkepurukan tersebut, mulailah  timbul rasa ingin bangkit dari pengrajin sulaman. Sulaman ini mulai tersentuh akan budaya China dan India terkebelakang. Dari motif ukirannya, terpengaruh oleh budaya China yang terkesan mewah dengan warna kuning emasnya.

Bukan itu saja,budaya Minangkabau yang berada tepian pesisir barat Sumatera itu juga menampakkan dentuman dari tari-tarian serta musik berupa Tari Indang, Musik Indang, Rabab Pasisia maupun Saluang serta Gandang Tasa yang menjadi akar kebudayaan yang menjadi obat penenang masyarakat Piaman . Minangkabau bagian pesisir merupakan sebuah peradaban yang merangkul budaya luar dengan budaya di dalamnya. Budaya tersebut mampu bertahan walau lolongan terpikik di telinganya. Budaya pesisir, seharusnya dianggap budaya yang cukup kramat dengan tumpahan ejekan mendera oleh kaum mudanya. Ejekkan itu bukan berupa segunung kata-kata, tapi perbuatan yang telah menyalahkan etika adat setempat. Itu bukan kutukan dari terdahulu, tapi sebuah keburukan yang menaklukkan kebaikan serta kearifan lokal
.
Dewasa ini, Pariaman baru saja mengembangkan sayap budayanya kekancah nasional maupun internasional. Budaya ini sering dinamai dengan budaya Tabuik. Arak-arakan ini dilakukan pada bulan Muharram untuk memperingati kematian cucu Nabi Muhammad SAW, Hasan Husein di padang karbala . Pada tradisi budaya ini,banyak mengandung unsur mistis yang belum terkuak oleh masyarakat setempat. Dari sesi pengambilan tanah sampai pembuangan Tabuik ke laut lepas. Biasanya, pada sesi tersebut dilakukan pada saat Adzan Magrib. Kenapa pada adzan Magrib?? Kenapa tidak Adzan shubuh atau adzan Isya. Misteri ini menjadi titik berat yang masih menjadi benang merah di mulut masyarakat. Budaya Tabuik serta merta juga terbumbui oleh kebudayaan dari bangsa Iran.    

Tradisi yang unik lainnya ialah basapa,sebuah ajaran yang seperti ikat pinggang di sekitaran Pariaman. Kenapa bisa? Hal ini dikarenakan oleh bertambahnya omset perekonomian masyarakat sekitar. Pada tradisi basapa ini, biasanya dilakukan setiap bulan Shafar dan ikuti oleh banyak jamaah yang berdatangan ke sini. Kesini kemana? Ya, mereka datang berdo’a dan mengaji serta sholat di sebuah makam seorang ulama besar penyebar Islam di Pariaman. Ulama besar ini disematkan menjadi Sekolah Tinggi Agama di kota ini, nama ulama tersebut Syaikh Burhanuddin. Ulama yang sangat membawa pengaruh besar dan mengumbar keelokannya. Lama dari itu, Pemuda seakan merusak piringan hitam dengan nada nan halus dan harmonis menjadi jeritan kumbang yang menangis lirih,tersedu dan bergemetar serta terbopong-bopong. Dari sikap itulah,mulai tersayat pilu di hati masyarakat yang merusak pamong pemuda. Kita tahu, penentu masa depan itu pemuda , pewaris seni dan budaya itu pemuda. Untuk itulah mari duduk bersama dalam tikar hikayat untuk mengingat musim yang telah meninggalkan kita.

     


Comments